Monday, June 13, 2011

JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH

JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH

Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0

Sesungguhnya rasa kasih-sayang di antara suami-isteri hampir-hampir
tidak ditemui bandingannya. Dua jenis manusia, pada mulanya tidak
saling mengenal, kemudian Allah mempertemukan keduanya, sehingga
terjalin hubungan yang melebihi seorang saudara dengan saudaranya,
seorang kawan dengan kawannya. Maka ini termasuk salah satu tanda
kekuasaan Allah yang mengagumkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir." [ar Ruum / 30:21]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa
Ta'ala menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan
menjadikan wanita-wanita (isteri-isteri) mereka dari jenis selain
mereka, mungkin dari jin atau binatang, maka tidak akan terjadi
persatuan antara mereka dengan isteri-isteri mereka. Bahkan pasti akan
terjadi keengganan, seandainya isteri-isteri itu bukan dari jenisnya.
Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap Bani Adam, bahwa
Dia menciptakan isteri-isteri mereka dari jenis mereka sendiri, dan
menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan rahmat,
yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan isterinya, kemungkinan
kecintaannya kepada isterinya, atau karena sayangnya, karena dia telah
memiliki anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau
karena keakraban antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir".[1]

Oleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan
suami-isteri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak
layu dan akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at
Allah Azza wa Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana".[al Baqarah / 2:228]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu, mereka (para isteri)
memiliki hak yang menjadi kewajiban para laki-laki (suami), maka
hendaklah setiap satu dari keduanya menunaikan kewajibannya kepada yang
lain dengan baik”.[2]

NAFKAH BAGI ISTERI DAN ANAK
Di antara hak terbesar wanita yang menjadi kewajiban suaminya adalah
nafkah. Nafkah, secara bahasa adalah, harta atau semacamnya yang
diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah
adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan
anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan,
dan semacamnya.[3]

Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan
Ijma'.

Disebutkan dalam al Qur`an :

"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma'ruf" [al Baqarah / 2:233]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, : “Dan kewajiban ayah si
anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak)
dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada
semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil
(menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya,
pertengahannya, dan kesempitannya” [4].

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya "[ath
Thalaq / 65:7]

Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
rahimahullah berkata : “Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah
Ta’ala. Dia menjadikan (kewajiban) setiap orang sesuai dengan
keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusaha, sehingga,
dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) kemampuannya.”[5]

Adapun dalil-dalil dari as Sunnah, antara lain:

"Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku
bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami
yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,"Engkau memberi makan
kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika
engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau
memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam
rumah”. [HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani
mengatakan: “Hasan shahih”].

Pada saat haji wada’ , Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah:

"Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena
sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu
telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah [6]. Dan kamu
memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka
tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan
permadani-permadani kamu [7]. Jika mereka melakukannya, maka pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak
yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan)
dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)". [HR Muslim, no. 1218].

Adapun menurut Ijma`, Imam Ibnul Qaththan rahimahullah (wafat 628 H)
menukilkan Ijma' tentang masalah ini, dengan perkataan beliau: “Ahlul
ilmi (para ulama) telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk
para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh,
kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)” [8].

UKURAN NAFKAH
Dalam masalah pemberian nafkah kepada isteri, maka agama tidak
menetapkan dengan ukuran tertentu. Akan tetapi Allah k memerintahkan
suami agar bersikap kepada isterinya dengan ma’ruf (baik, patut, umum).
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai panutan, beliau telah
menetapkan bahwa nafkah itu mencukupi isteri dan anak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan kebenaran yang
ditetapkan oleh mayoritas ulama, bahwa nafkah isteri kembalinya adalah
‘urf (kebiasaan). Ukurannya tidak ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan negara-negara, waktu, dan
keadaan suami-isteri, serta kebiasaan keduanya. Karena sesungguhnya
Allah Ta’ala berfirman:

"(Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri kamu) secara patut – an
Nisaa’ ayat 19- dan Nabi n bersabda (kepada Hindun isteri Abu Sufyan)":

"(Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut!)."

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"(Dan mereka (para isteri) memiliki hak, yaitu (kamu wajib memberi)
rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik.
patut)[9].

JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH DENGAN CUKUP (BAKHIL)
Jika suami tidak memberi nafkah yang cukup, padahal dia memiliki harta
yang nampak, yang memungkinkan bagi isteri untuk mengambil sendiri,
atau dengan keputusan hakim, maka isteri hendaklah bersabar, tidak
menuntut cerai.

Demikian juga jika suami tidak memberi nafkah secara cukup bagi isteri
dan anaknya, maka sang isteri boleh mengambil harta suami dengan tanpa
idzin, tetapi dengan cara yang ma’ruf (patut, secukupnya), tidak boleh
berlebihan.

Dalam masalah tersebut, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam telah berfatwa,
sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih :

Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil.
Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku,
kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau
bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut”.[HR
Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714].

Setelah membawakan hadits ini, Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan
berkata: “Apa yang telah lalu ini menunjukkan kewajiban nafkah untuk
isteri. Dan nafkah itu diukur dengan apa yang mencukupinya (isteri) dan
anaknya dengan ma’ruf (patut, baik, umum). Jika suami tidak memberi
nafkah, sesungguhnya sang isteri berhak mengambil nafkahnya dari harta
suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, dan hal itu hendaklah dengan
ma’ruf. Dan sepantasnya bagi isteri tidak membebani suaminya dengan
banyak tuntutan. Hendaklah dia ridha dengan sedikit (nafkah), khususnya
jika suami berada dalam kesusahan dan kemiskinan”.[10]

JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Telah kita ketahui bahwa nafkah merupakan hak isteri yang menjadi
kewajiban suami. Maka bagaimanakah sikap isteri jika suami tidak mampu
memberi nafkah, dan dia tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk
nafkah? Bolehkah isteri menuntut cerai?

Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama.[11]
1). Boleh menuntut faskh (pembatalan aqad nikah). Demikian ini pendapat
jumhur (mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah. Juga
diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhum. Juga pendapat Sa’id bin Musayyib, al
Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan
Abu Tsaur.

2). Tidak boleh menuntut faskh, tetapi isteri wajib bersabar. Demikian
pendapat Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula
Syaikh Abdurrahman as Sa’di.

3). Tidak boleh menuntut faskh, bahkan isteri yang kaya wajib menafkahi
suaminya yang miskin. Ini pendapat Ibnu Hazm rahimahullah.

Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata: “Al Hanafiyah
(para ulama madzhab Hanafi) membolehkan seorang isteri berhutang atas
tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak
mampu memberikan nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) tiga
madzhab, yaitu : Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat,
seorang isteri disuruh memilih antara tetap bersama suaminya dengan
kesusahannya, atau berpisah darinya dengan faskh (pembatalan) aqad
nikah, dan nafkah bagi isteri tidak wajib atas suaminya selama dia
kesusahan”.[12]

Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah-
berkata: “Jika suami kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat
tinggal, atau suami pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk isterinya
dan susah mengambil dari hartanya (suami), maka isteri berhak faskh
(membatalkan aqad nikah), jika dia berkehendak, dengan idzin hakim
(pengadilan agama)”.[13]

Setelah memaparkan dalil masing-masing pendapat di atas, Abu Malik
Kamal bin as Sayid Salim menyatakan : "Yang paling nampak
(kebenarannya) dari yang telah lalu, adalah pendapat bolehnya
perpisahan (isteri menuntut faskh, putus nikah, Pen) dengan sebab
ketiadaan nafkah, berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan oleh
jumhur. Terlebih lagi, para sahabat Radhiyallahu 'anhum telah
berpendapat dengannya dan mengamalkannya. Dan karena di dalam pendapat
ini menghilangkan kesusahan dari isteri, apalagi jika suami menolak
menthalaqnya karena pilihannya (sendiri) atau bersepakat dengan
isterinya. Namun yang lebih utama dan lebih baik, si isteri bersabar
terhadap kesusahan suaminya dan mendampinginya, serta membantu
semampunya. Adapun dalil-dalil (ulama) yang melarang perpisahan
tidaklah kuat melawan dalil-dalil jumhur. Wallahu a’lam”.[14]

Dari pembahasan ini, kita mengetahui betapa tingginya ajaran Islam, dan
alangkah besar kasih-sayang Allah kepada para hambaNya. Al-hamdulillahi
Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat ar Ruum : 21.
[2]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 228.
[3]. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim,
3/198; Mu’jamul Wasith, 2/942; Ahkamuz Zawaj, Syaikh Umar Sulaiman al
Asyqar.
[4]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 233.
[5]. Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat ath Thalaq : 7.
[6]. Maksud kalimat Allah dalam hadits ini adalah firman Allah Azza wa
Jalla : (Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi -QS an
Nisaa` / 4 ayat 3. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah
Muslim 4/443, Penerbit Darul Hadits, Kairo.
[7]. Imam Nawawi, di dalam Syarah Muslim 4/443-444, Penerbit Darul
Hadits, Kairo -menyatakan secara ringkas- maknanya yang terpilih
adalah, bahwasanya mereka (para isteri) tidak boleh mengizinkan kepada
seorangpun yang tidak kamu sukai untuk memasuki rumah-rumah kamu dan
duduk di tempat duduk-tempat duduk kamu. Sama saja, yang diidzinkan itu
seorang laki-laki asing (bukan mahram), atau seorang wanita, atau
seseorang dari mahram isteri. Larangan itu mengenai semuanya, kecuali
bagi orang yang si isteri mengetahui atau menyangka bahwa suaminya
tidak membencinya, atau mengizinkannya, atau diketahui ridhanya dengan
keumuman kebiasaan.
[8]. Al Isyraf ‘ala Madzahibi Ahlil ‘Ilmi karya Al-Hafizh Ibnul
Mundzir, 1/119. Dinukil dari al Iqna fii Masailil Ijma’ 2/55, karya
Imam Ibnul Qaththan, Tahqiq Hasan bin Fauzi ash Sha’idi, Penerbit al
Faruq al Haditsah.
[9]. Majmu’ Fatawa, 34/83; Taisiril Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al
Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, Dr. Ahmad al Muwafi, Penerbit
Dar Ibnil Jauzi, 2/861.
[10]. Fiqhuz Zawaj, hlm. 130.
[11]. Lihat dalil masing-masing pendapat di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, Abu
Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/400-404.
[12]. Ahkamuz Zawaj, Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288.
[13]. Mukhtashar Fiqih Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm. 860.
[14]. Shahih Fiqih Sunnah, 3/400-404

No comments:

Post a Comment